Buscar

Jumat, 25 Mei 2012

Tukang Ojeg Payung


Siang hari itu cuaca memang sedang tidak bersahabat, awan gelap yang membentang luas di langit seolah-olah ingin menelan bumi. Hingga akhirnya tanpa diawali rintik-rintik, tiba-tiba hujan yang begitu derasnya segera turun membasahi permukaan bumi.

Semua oran...g pun mulai terlihat berlarian, mereka semua mencoba mencari tempat untuk berteduh. Mulai dari para pejalan kaki, pedagang asongan hingga para pengendara sepeda motor. Termasuk seorang pemuda yang berlari menuju sebuah halte bis yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Selang berapa menit kemudian, seorang anak kecil datang menghampiri dan berkata, “Ojeg payung, Om?” Sapa seorang anak kecil dengan sopan namun sedikit gemetar karena menahan dingin akibat sekujur badannya yang basah kuyup. Bahkan sesekali anak kecil itu mengusap wajahnya yang basah terkena air hujan.

Si pemuda yang ditanya hanya membalas dengan sebuah senyuman sambil menggelengkan kepalanya. Hingga tiba-tiba pemuda itu kemudian merogoh dan mengambil selembar uang dari dalam saku celananya. Anak kecil itupun lantas dihampirinya.

“Om kebetulan memang ingin berteduh dulu sambil nungguin hujannya reda, tapi kamu mau kan menerima pemberian Om?” ungkap pemuda tersebut sambil menyelipkan selembar uang tadi ke tangan anak kecil tersebut.

Anak kecil tersebut hanya bisa diam meski wajahnya terlihat bingung karena melihat tingkah pemuda itu. Bahkan belum habis rasa penasarannya, tiba-tiba pemuda tersebut kemudian memegang pundaknya. “Kamu sekarang sekolah kelas berapa? Dan mengapa kamu gak bawa payung juga? Nanti kalau kamu sakit bagaimana?”.

Suara pemuda itu terdengar begitu lembut dan dari sikapnya terlihat bahwa pemuda tersebut mencoba menunjukkan perhatian dan sekaligus juga atas keprihatinannya. Karena betapa tidak, melihat seorang anak kecil yang lugu dengan hanya membawa sebuah payung yang digunakan sebagai modal untuk menawarkan jasa sewa payung disaat hujan yang turun dengan begitu derasnya. Dan sudah pasti saat payungnya tersebut sedang digunakan oleh pengguna jasanya, maka tubuh anak tersebut akan basah kuyup terkena hujan.

“Agung baru kelas tiga SD, Om. Mumpung lagi hujan. Agung mau cari duit buat bantuin Mbah. Kasian kan Mbah udah tua tapi masih narik becak. Ntar kalo Agung dapat duit, kan bisa buat makan ama Mbah, terus sisanya ditabung.” Jawaban yang terungkap dari anak kecil yang ternyata bernama Agung tersebut memang sangat singkat, namun sekaligus memilukan.

Agung terus memperhatikan pemuda tersebut dengan wajah penuh keheranan. Sementara pemuda tersebut hanya mampu menarik nafas karena terkesima dan sekaligus kagum, karena ternyata Agung sudah begitu paham dengan permasalahan dan keadaan ekonomi yang dialami oleh Mbah-nya.

“Memangnya orangtua Agung dimana?” tanya si pemuda itu kembali. “Kata Mbah, Bapak udah meninggal waktu Agung masih kecil, terus Ibu sudah lama tinggal di Pesantren dan Agung tinggal sama Mbah. Tuh rumahnya disana, dekat kok dari sini tinggal nyebrang.” Agung menjawab sambil menunjukkan telunjuknya ke arah sebuah kawasan pemukiman padat penduduk yang letaknya memang tidak jauh dari tepian sungai diseberang jalan tempat mereka berteduh.

“Agung basah kuyup begini, tadi sudah makan siang apa belum?” tanya pemuda tersebut. “Belum Om, tanggung nih mumpung masih hujan. Agung mau cari duit dulu ya?” jawab Agung kembali dan sekaligus meminta izin untuk pamit kepada pemuda tersebut.

Namun tiba-tiba pemuda tersebut meraih tangan Agung. “Bagaimana kalau Agung menemani Om makan, kebetulan Om juga belum makan. Ada rumah makan tuh dekat sini, bagaimana kalu kita makan disana dulu?” pinta si pemuda itu kepada Agung.

“Agung emang lapar Om. Tapi Agung kan dah dikasih duit, masa’ pake harus diajak makan segala. Om kan gak ojeg payung Agung. Gak enak ah ngerepotin Om.” jawab Agung sambil berusaha menghindar. “Oh begitu. Bagaimana kalau uang tadi adalah adalah sebagai imbalan karena Agung dah mau makan bareng Om, kan kita bisa sambil ngobrol.”

Ungkap pemuda itu untuk meyakinkan Agung dan yang dilanjutkan dengan memperkenalkan dirinya. Akhirnya Agung pun bersedia untuk diajak makan, ditambah lagi dengan tangan kanannya yang saat itu sedang memegang perut. Sebuah isyarat bahwa Agung memang sedang menahan rasa laparnya.

Sambil tangannya menuntun Agung dan membawa payung, mereka kemudian bergegas berlari menuju sebuah rumah makan yang letaknya berada tidak jauh dari halte bis. Meskipun pada awalnya Agung dilarang masuk oleh petugas satpam rumah makan tersebut karena tidak menggunakan alas kaki.

Bahkan Agung sempat dianggap sebagai pengemis, sehingga membuat si pemuda itu segera menghampiri petugas satpam tersebut. Dan setelah terjadi pembicaraan, akhirnya petugas satpam tersebut mempersilahkan mereka masuk dan menempati sebuah tempat yang cukup tenang untuk mereka berdua.

Meskipun banyak mata yang memandang saat keduanya memasuki rumah makan tersebut, namun pemuda tersebut meminta Agung untuk tidak mempedulikan pandangan dan perkataan mereka terhadap Agung.

Setelah mereka memesan makanan dan minuman, keduanya pun makan bersama sambil sesekali si pemuda itu tertawa melihat Agung yang sedemikian lahapnya. Karena menurut penuturan Agung, menu yang disantapnya itu sudah sangat istimewa sekali.

Sepiring nasi, semangkuk sop kambing yang masih hangat, sepiring sate kambing, segelas teh manis hangat dan ditambah segelas juice buah kesukaannya terlihat berada dihadapan Agung dan siap untuk disantap. Menu tersebut sepertinya merupakan impian yang memang sangat jarang sekali untuk dapat dirasakannya.

Sungguh Agung terlihat begitu menikmati hidangan yang dipilihnya, bahkan sesekali dari mulutnya terdengar dia bersendawa. Usai mereka berdua selesai menyantap hidangan, si pemuda tersebut kemudian bertanya kepada Agung.

“Tadi Agung bilang, Ibu lagi belajar di Pesantren, di Pesantren mana?”. Setelah meminum teh hangatnya, Agung pun menjawab pertanyaan seputar tentang Ibunya, dan akhirnya dari sebuah jawaban yang singkat dan polos dari mulut Agung inilah, maka terkuaklah serangkaian kisah yang sungguh harus dipahami dari dan oleh hati.

“Ibu belajar di Pesantren, jauh banget tempatnya, terus tembok pagarnya aja tinggi. Ibu pernah bilang, kalo Ibu gak boleh keluar dari pesantrennya kalo belum selesai belajar. Agung ama Mbah pernah ketemu Ibu, tapi ada Ibu-Ibu yang pake seragam yang manggil Ibu pake speaker yang suaranya gede banget. Kalo Agung tanya, Ibu cuma bilang kalo kamar Ibu jauh. Baju Ibu di pesantren juga bagus, sama kaya’ temen-temennya. Malah disininya ada gambar kaya’ di kertasnya Om tuh.”

Agung menjawab sambil menjelaskan bahwa posisi gambar tersebut berada di sebelah dada bagian kiri seragam ibunya, dan sekaligus menunjuk logo yang tertera di amplop surat dinas berwarna coklat.

Entah mengapa tiba-tiba amplop surat dinas itu terselip keluar dari balik tas milik pemuda tersebut. Dan ternyata gambar yang dimaksud Agung tersebut adalah logo dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Namun belum selesai pemuda itu tertegun, Agung kembali menjelaskan.

“Kalo mau ketemu Ibu, Agung cuma bisa ketemu sebentar doang. Padahal Agung pengen banget tidur ditemenin ama Ibu, Agung kan juga kangen. Tapi Ibu bilang kalo Agung gak boleh masuk ke kamarnya. Terus kalo tiap Agung mau pulang. Agung cuma bisa lihat Ibu dari pagar.”

“Jendela kamarnya lucu ada besi-besi segala, kayak penjara. Kata Ibu, itu supaya gak ada binatang masuk ke dalam. Agung kan gak bisa dibohongin, soalnya kucing aja sih masih bisa lewat. Agung juga pernah dikasih tau ama Mbah, kalo nanti Ibu juga bakal pulang ke rumah lagi kok. Bilangnya sih habis lebaran, gak tau lebaran kapan.”

Dari cerita Agung tersebut sudah cukup menjelaskan, bahwa Ibunya adalah seorang warga binaan yang masih menjalani masa hukuman di sebuah Lapas. Sebuah jawaban yang cukup memilukan bagi yang mendengar dan merasakannya.

Sungguh Agung belum mengetahui atas keadaan yang sesungguhnya. Namun demi menjaga kestabilan jiwa dan mental dari Agung, maka pemuda itu mengambil keputusan untuk tidak menjelaskan pada Agung atas apa yang sebenarnya terjadi pada Ibunya.

“Agung pernah nanya kenapa Ibu harus tinggal di Pesantren itu?” tanya si pemuda sambil mengambilkan segelas juice buah kesukaannya dan segelas teh manis hangat untuk Agung yang terlihat haus karena banyak bercerita.

“Pernah Om. Kata Ibu, Ibu disana lagi belajar mengenal sama mencintai Allah, aneh kan Om? Agung aja di sekolah cuma ada pelajaran agama. Masa’ Ibu kayak di sinetron, ada belajar cinta segala. Agung juga pernah nanya ke Ibu, emangnya Ibu gak pernah kenal Allah sampe harus masuk Pesantren dulu? Emangnya Ibu gak cinta Allah?”

“Ibu suka nangis kalo ditanyain kaya’ gitu sama Agung. Ibu juga pernah bilang kalo Ibu harus lulus dulu dari Pesantren kalo mau pulang ke rumah.” jawab Agung sambil memilih segelas teh manis hangat.

Si pemuda tersebut hanya berusaha tersenyum, kemudian bertanya kembali kepada Agung. “Agung sayang gak sama Ibu? Terus kalau Agung sayang caranya Bagaimana?”

Mendengar pertanyaan itu, Agung terdiam dan terlihat wajahnya mendadak dirundukkan, sepertinya dia sedang berusaha mengatur perasaan di dalam hatinya saat itu.

“Agung sayang Ibu, sayang banget. Agung kadang suka ngiri kalo liat temen-temen Agung ke sekolah dianterin terus ditungguin sama Ibunya, apalagi kalo pas ambil rapot, pasti Ibunya yang nemenin. Kalo Agung cuma ditemenin sama Mbah tiap mau sekolah. Itu juga kalo mau berangkat do’ang. Mbah emang gak bisa tiap hari ngaterin Agung, soalnya kan Mbah suka diminta tetangga buat bawain dagangan sayur ke pasar.”

“Agung juga dulu pernah disetrap sama Bu guru gara-gara Agung mukul temen. Habisnya temen Agung bilang kalo Ibu Agung itu lagi ada penjara, padahal kan dah Agung bilangin kalo Ibu Agung lagi belajar di Pesantren. Tapi Mbah bilang Agung harus sabar dan rajin sholat kalo mao ketemu dan kumpul ama Ibu lagi.”

“Agung juga suka mimpi liat Ibu lagi nangis, Agung jadi sedih ngebayanginnya tapi soalnya emang suka keingetan ama Ibu. Kalo Agung lagi kangen, Agung cuma bisa berdo’a sama Allah. Agung sayang Ibu, tapi Agung juga gak mau lihat Ibu nangis lagi. Makanya Agung janji sama Ibu mau rajin sholat, ngaji dan do’ain Ibu.”

“Agung juga gak mau kalah sama Ibu belajar ngaji, tapi Agung baru sampe Iqro empat. Agung paling seneng kalo denger Ibu lagi ngaji, suaranya enak dan bikin Agung sampe ketiduran.”

“Makanya Agung mau terus belajar ngaji. Ibu juga minta nanti kalo Agung udah gede, supaya bisa ngajarin orang ngaji. Kan Ibu disana juga suka ngajarin ngaji temen-temennya. Malah temen Ibu ada yang bilang, kalo Ibu dulu pernah juara lomba ngaji.”

Agung bercerita dengan gayanya yang begitu lugu, hingga kemudian Agung tampak terdiam sejenak, dan akhirnya kemudian terungkaplah isi hati Agung yang sesungguhnya.

“Om, kok Agung jadi kangen sama Ibu ya?” Suasana saat itu langsung hening seketika, seiring hujan yang mulai mereda. Namun saat itu terlihat sepasang mata Agung mulai mengeluarkan linangan air mata, hingga kemudian terdengar suara tangisannya sambil sesekali terdengar suara segukannya.

Tanpa peduli dengan orang-orang yang berada disekeliling tempat mereka berada, Agung kemudian menghampiri dan langsung memeluk pemuda itu dan bahkan kian menangis. Sungguh suara tangisnya seperti layaknya tangis seorang anak yang begitu ingin memeluk orangtuanya.

Tangisannya yang sangat memilukan itu mengisyaratkan bahwa jauh di dalam lubuk hatinya, Agung sangat sangat merindukan kehadiran sosok orangtuanya, Ibu tercintanya.

Agung memeluk pemuda itu dengan begitu eratnya, seolah-olah pelukan itu tak ingin dilepaskannya. Hingga setelah beberapa saat Agung melampiaskan kesedihannya, Agung pun kemudian menyeka air mata di wajahnya dengan kedua tangannya.

“Kata Ibu, Agung harus jadi laki-laki yang berani, gak boleh cengeng. Tapi Agung dah bohongin Ibu, Agung tadi malah nangis. Agung kangen Ibu, Om.” ungkap Agung seraya mengeringkan wajahnya yang basah terkena linangan air matanya.

Pemuda tersebut kemudian menyampaikan sesuatu kepada Agung, “Jika Agung kangen sama Ibu, Om akan mengajarkan cara lain untuk menyampaikan rasa kangen Agung. Sebentar lagi kan adzan Ashar, bagaimana kalau kita sholat dulu?” jelas pemuda tersebut sambil bertanya dan sekaligus mengajak Agung untuk menunaikan sholat.“Agung gak bawa sarung, baju Agung aja belum kering.” jawab Agung menimpali.

“Soal itu jangan dipikirin, Agung ikut Om sebentar.” lanjut pemuda itu menjawab beban pikiran Agung. Dan akhirnya keduanya meninggalkan rumah makan itu untuk kemudian pergi menuju sebuah toko pakaian muslim yang berada di pasar di tengah kota.

Ternyata pemuda tersebut kemudian membelikan sepasang pakaian muslim beserta sebuah sarung dan kopiah yang cocok untuk ukuran anak-anak, serta sebuah sandal karena saat itu Agung memang sedang tidak memakai alas kaki.

Setelah itu mereka kemudian segera menuju sebuah Masjid yang letaknya di tengah kota dan tidak jauh dari tempat mereka berada. Di Masjid itu kemudian Agung mengganti pakaian lamanya dengan pakaian yang baru untuk sholat.

Dan tidak seperti anak-anak sebayanya yang sedang sholat di Masjid itu sambil bercanda. Agung terlihat begitu khusyu dalam sholatnya bahkan tidak terganggu dengan suara ribut anak-anak kecil sebayanya yang tengah bermain disekelilingnya. Hingga setelah sholat berjama’ah terlihatlah bahwa dalam keadaan wajahnya yang sedang merunduk, ternyata wajahnya telah dibasahi oleh tetesan air matanya.

Perlahan-lahan pemuda itu mendekati Agung dan mencoba untuk turut mendengarkan do’a yang sedang dipanjatkan oleh anak itu. Do’a yang mungkin sangat sederhana namun sangat berat dengan makna bagi yang mendengarkannya, dan sekaligus do’a yang mampu menguras air mata bagi yang dapat merasakannya.

“Ya Allah. Maafin Agung, hari ini Agung nangis lagi. Soalnya Agung emang sayang ama Ibu, dan Agung juga kangen ama Ibu. Agung gak tahu kapan bisa ketemu Ibu lagi, Agung cuma mau Ibu bisa cepat lulus dari Pesantren supaya bisa kumpul lagi. Agung juga mau kaya’ Ibu, bisa belajar kenal dan cinta ama Allah.”

“Tapi Agung mau Ibu yang ngajarinnya. Tapi kalo Ibu masih lama belajar di Pesantren, Agung janji mau sabar nungguin Ibu. Agung juga janji nurut sama Mbah, gak berantem lagi ama temen di sekolah. Agung cuma mau jagain dan senengin Ibu sampai tua. Agung emang sekarang masih kecil, makanya tolong titip Ibu ya? Tolong kabulkan do’a Agung, Ya Allah.”

Usai Agung berdo’a, tampak hujan do’a dan air mata sangat terasa seiring kesedihan yang melekat pada diri Agung saat itu. Ada kenikmatan tersendiri saat anak itu berdo’a dengan sepenuh hati dan keyakinannya. Meskipun serangkaian do’a itu tiada terlihat indah jika dibandingkan dengan serangkaian kata-kata yang biasa dipanjatkan oleh orang dewasa.

Namun serangkaian do’a yang dipanjatkan anak itu mempunyai sebuah kekuatan dan mampu menggetarkan dan meluluhkan siapapun orang yang di dalam hatinya mengakui akan kebesaran dan keagungan Tuhan.

Pertemuan mereka berdua memang singkat, namun memang sudah diatur oleh Allah. Menjelang perpisahan, pemuda itu mengeluarkan dari tasnya sebuah buku kecil mengenai cara menghafal Asmaa’ul Husna dan sekaligus buku Iqro dan Juz ‘Ama. Wajah Agung terlihat begitu senang saat menerimanya, karena Agung memang sudah sangat berharap untuk bisa memilikinya.

Begitu mereka keluar dari halaman Masjid, pemuda itu pun mengantarkan Agung hingga ke depan rumahnya yang berada di ujung sebuah gang. Rumah yang sangat sederhana, bahkan beberapa tiang terasnya pun sudah terlihat lapuk karena dimakan rayap. Berlantaikan plesteran dan bahkan disetiap kaca jendelanya pun hanya menggunakan lembaran koran yang mulai tampak lusuh dan ditempel sebagai pengganti tirai.

Sungguh sebuah pemandangan yang akan membuat hati siapapun yang memandangnya seperti teriris. Hanya tampak sebuah kasur yang beralaskan selembar tikar untuk tempat tidur Agung dan Mbah-nya. Lemari untuk buku dan baju milik Agung pun dibuat dari bekas papan peti kemas yang dirangkai seadanya.

Namun diantara sekian barang-barang yang mengisi ruang tamu sekaligus ruang tidur Agung dan Mbah-nya, hanya sepasang ukiran berlafadzkan Allah dan Rasulullah yang terlihat sangat terawat dan terpampang serta sebuah kertas stiker berwarna bertuliskan “Rumahku adalah Istanaku.”

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
 
Safety Is The First | Copyright © 2011 Diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger