Meskipun jarang diakui, tidak sedikit kasus laka bus atau truk disebabkan oleh kompetensi supir yang kurang memadai. Secara hukum bisa saja supir memenuhi syarat karena cukup punya SIM B1 (umum) untuk bus/truk utuh bukan gandengan. Padahal dalam praktik mengemudi mikrobus Isuzu ELF engkel 4 ton dengan mengemudi bus Scania 12m, 17 ton atau... bawa tronton pasir overweight 40 ton jelas memerlukan kompetensi yang berbeda, meskipun SIM sama-sama B1 Umum.
Yang mungkin belum diatur diperundangan adalah siapa yang berhak mengijinkan seseorang mengemudikan bus besar atau truk besar, serta apa dokumennya.
Sebagai pembanding kalau di pesawat terbang ada yang namanya "rating" untuk setiap tipe pesawat . Jadi "sim" pesawat CPL (SIM umum) tidak cukup tapi harus punya rating. Nah di pesawat terbang karena ada kapten pilot, maka orang yang belum punya rating bisa belajar sebagai ko pilot. Sayangnya di bus atau truk yang setirnya cuma satu tentu pola seperti pilot tidak bisa dilakukan.
Akhirnya perlu dipikirkan bagaimana mengontrol personel yang di belakang kemudi harus mempunyai kompetensi memadai. Yang nguji sebaiknya bukan polisi atau Dishub, yang nguji supir bus ya supir yang sudah pengalaman. Salah satu mekanisme adalah memanfaatkan organisasi profesi. Jadi perlu asosiasi supir yang salah satu tugasnya adalah melatih supir baru sesuai kendaraan yang akan dijalankan. Sebagaimana pesawat terbang, proses pelatihan ini bisa satu paket dengan pembelian unit bus atau truk. Yang dilatih tidak cuma supir tapi juga mekanik yang sehari-hari merawat unit.
Contoh lain adalah training mengemudi alat berat, di suatu perusahaan hanya orang yang lulus training yang boleh mengemudikan alat berat. Jadi kalau mau jadi operator dump truk, wheel loader atau forklift mesti lulus latihan dan ada catatan / dokumennya.
Jangan sampai kejadian bus atau truk laka karena kehabisan angin atau rem kehilangan gaya cengkeram karena supir yang kurang piawai di jalan menurun terjadi berulang kali.
Sumber :
-www.facebook.com/bismania
0 komentar: